Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Istilah Halal dan Haram dalam Islam

 

Mengenal Istilah Halal dan Haram dalam Islam
Image by freepik

Halal dan haram bukanlah istilah yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Kedua istilah tersebut dipakai sebagai tolak ukur atau hukum boleh atau tidaknya sebuah produk dipakai oleh umat muslim. Kedua istilah ini juga bersifat sakral karena menentukan kemuliaan seseorang dalam kehidupan beragama.
 
Seperti yang sering disampaikan oleh para mubaligh bahwa doa seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Salah satunya karena dia tidak memilih gaya hidup yang halal.
 
Oleh karenanya, kita harus dapat membedakan hukum dari perbuatan maupun produk yang kita perbuat atau konsumsi untuk menjauhkan murka Allah yang akan membawa kita kepada kesengsaraan dan kepiluan.

Memahami Lebih Jauh tentang Halal dan Haram

Tahukah kamu bahwa sesungguhnya hukum asal dari semua perbuatan dan produk adalah halal? Pada dasarnya, Allah menciptakan alam semesta beserta isinya adalah untuk hamba-Nya.
 
Tiada satupun perbuatan dan produk yang diharamkan kecuali jika ada dalil tegas yang menyatakannya haram. Jadi, jika kamu tidak menemukan hukum dari suatu hal, maka hukum hal tersebut kembali kepada hukum asalnya, yakni mubah atau boleh.
 
Dalam sebuah hadits dikatakan, “Semua yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabNya, itu adalah halal dan semua yang diharamkan oleh Allah, itu adalah haram, sedangkan semua yang tidak disebutkan oleh Allah, itu adalah boleh…” (HR. Hakim dan Bazzar).
 
Bukan hanya itu, hadits ini juga diperkuat oleh dalil dari Al Qur'an, “Dialah (Allah) Dzat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (Q.S Al-Baqarah: 29).
 
Kedua dalil tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwasanya hukum asal dari semua hal adalah halal kecuali ada dalil-dalil tertentu yang mengharamkannya.
 
Kaidah ini kemudian menjadi referensi dasar para ulama untuk menentukan hukum suatu hal, apalagi gaya hidup pada zaman ini telah berubah drastis dari zaman Nabi Muhammad SAW.
 
Oleh karenanya, ulama harus pandai melihat kenyataan di masa kini dan mencocokkannya dengan dalil yang serupa untuk diambil sebuah kesimpulan hukum.
 
Namun, harus kita catat bahwasanya kaidah ini hanya dapat dilakukan pada perbuatan yang bersifat bukan ibadah. Dalam persoalan ibadah, kita tidak bisa melakukan sekehendak kita tanpa ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya.
 
Di dalam ibadah, jika kita melakukan tanpa ada dalil yang memerintahkannya maka dapat berubah menjadi bid’ah atau mengada-adakan ibadah yang tidak diperintah oleh syari’at dan hal ini hukumnya haram.
 
Dalam hal ini, Allah telah mengingatkan kita di dalam ayat-Nya, “Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Q.S As-Syura: 21).
 
Ada Pula di dalam hadits, Rasulullah saw. telah mengingatkan kita dengan tegas, “Barangsiapa melakukan amal perbuatan (ibadah) yang bukan atas perintah kami (syariat), maka itu tertolak.” (HR. Muslim).
 
Begitulah kebebasan syariat yang diberikan kepada umat Islam. Kita bebas melakukan suatu perbuatan namun harus memahami batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar.

Halal dan Haram Bukan Hak Manusia

Setinggi apapun ilmu agama manusia, tetap hanya Allah yang memiliki hak prerogratif untuk menentukan halal dan haram. Manusia hanyalah makhluk rendah yang tidak seharusnya mengatakan halal atau haram tanpa ada dalil yang tegas dalam menetapkan hukum suatu persoalan.
 
Untuk hal-hal seperti minuman keras, zina, memakan babi, dan judi sudah jelas diharamkan di dalam kitab suci Al Qur'an dan tidak ada satupun ulama yang membantah status keharamannya.
 
Namun, bagaimana sikap kita dengan hal-hal yang masih bersifat abu-abu dan mengundang perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu?
 
Sebaiknya kita meneladani sikap ulama sebelumnya dalam masalah ini. Imam Syafi’i menyampaikan bahwa hakim Abu Yusuf di zaman beliau berkata, “Aku temui para guru kami dari kalangan ahli ilmu, bahwa mereka tidak senang memberi fatwa, dengan mengucapkan ini halal dan ini haram, kecuali sesuai dengan apa yang ada dalam Al Qur’an secara jelas tanpa butuh penafsiran.”
 
Hal ini menjadi teladan bagi para ulama pada masa itu. Jika kita menilik sejarah, kita akan menemukan banyak ulama yang takut untuk mengatakan halal atau haram pada suatu hal yang tidak diketahui hukumnya secara pasti.
 
Oleh karenanya, untuk menghindari murka Allah karena berdusta atas hukum suatu perbuatan, maka para ulama lebih memilih sikap ‘suka’ atau ‘tidak suka’.
 
Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah ditanya suatu persoalan yang tidak ada di dalam Al Qur'an dan As-Sunnah, maka beliau berkata, “Aku tidak menyukainya.” Padahal, jika kita lihat, Imam Ahmad adalah salah satu imam yang berkontribusi besar terhadap perkembangan ilmu fiqih.
 
Namun, beliau pun tidak berani mengatakan halal atau haram secara cuma-cuma tanpa ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
 
Maka dari itulah, para ulama terdahulu tidak suka berfatwa secara serta-merta sebab takut menjadi perkara besar di Yaumul Hisab kelak.
 
Mengenai perkara halal dan haram ini, Allah telah mengingatkan kita di dalam Al Qur’an surah An-Nahl ayat ke 116.
 
Ayat tersebut mengingatkan kita akan pentingnya menjaga ucapan untuk menentukan fatwa suatu perbuatan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Nabi SAW untuk menghindari hal yang bersifat syubhat (masih gamang antara halal dan haramnya).
 
Berikut adalah hadits Nabi SAW, “Barangsiapa yang menjaga hal-hal yang syubhat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya.” (HR. Bukhari). Menghindari hal-hal yang membingungkan kita adalah lebih baik daripada melakukannya dan ternyata perbuatannya haram untuk dilakukan.

Hikmah dalam Persoalan Halal dan Haram

Melihat banyaknya persoalan di masa kini, kita juga tetap membutuhkan ulama untuk memberikan batasan perbuatan pada diri kita masing-masing.
 
Namun demikian, seorang ulama seyogyanya juga harus bersikap lebih arif dan bijaksana dalam menentukan sebuah fatwa. Terkadang, kita melihat kenyataan di lapangan bahwa fatwa ulama terkesan terlalu frontal sehingga menimbulkan efek dan dampak negatif pada masyarakat.
 
Sebagai contoh adalah fatwa BBM beberapa waktu lalu. Beberapa ulama di Indonesia mengeluarkan fatwa mengenai haramnya mengambil subsidi BBM yang ditujukan kepada orang miskin.
 
Fatwa itu kemudian memancing pro kontra dari banyak kalangan dan memperburuk citra ulama itu sendiri sebagai panutan masyarakat. Banyak orang yang kemudian merasa kurang bersimpati kepada ulama karena dianggap telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari agama.
 
Seharusnya, ulama tidak perlu bersikap keras terhadap fatwa halal maupun haram yang dikeluarkannya. Jika memang ulama meyakini hukum haram pada suatu perbuatan, maka seharusnya cukup dengan mengatakan, “Mari kita hindari perbuatan ini demi terjaganya kesejahteraan masyarakat”.
 
Hal yang demikian dirasa lebih bijaksanajika dibandingkan dengan kesan ‘memaksa’ pada masyarakat dengan cara membuat fatwa halal atau haram.
 
Kita harus mengingatkan para ulama agar jangan sampai mereka yang telah dijadikan teladan masyarakat ini justru menjadi biang kemurkaan Allah SWT.
 
Bukan hanya ulama, kita selaku umat Islam seharusnya juga pandai untuk menentukan batasan bagi diri kita sendiri dengan pedoman Al Qur'an dan As-Sunnah, khususnya perihal halal dan haram.
 
Umat Islam dituntut untuk memahami Islam itu sendiri tanpa ketergantungan yang berlebihan terhadap ustadz atau ulama.
 
Bagaimana bisa disebut sebagai umat Islam sementara kepedulian terhadap ilmu Islamnya sangat rendah? Hal ini semestinya menjadi motivasi bagi kita untuk menuntut ilmu Islam lebih giat agar kita mampu berijtihad sendiri tanpa menunggu orang lain mengeluarkan fatwa.
 
Mengapa harus demikian? Sebab kita tidak boleh mengandalkan sosok atau figur dengan mengikuti semua perkataannya secara mutlak.
 
Ulama juga manusia, mereka tidak selalu benar dan tidak selalu salah. Mereka sama seperti kita, hanya saja dibekali ilmu agama yang lebih matang.
 
Selebihnya, kita harus sadar bahwa kita tidak boleh terlalu ketergantungan terhadap fatwa ulama. Kita juga harus menuntut ilmu Islam dengan baik, sehingga di saat ulama salah, kita dapat mengingatkan mereka dengan cara yang baik.

Penutup

Demikianlah penjelasan singkat tentang istilah halal dan haram dalam Islam. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna dan hikmah di balik ketentuan Allah SWT.
 
Semoga kita semua dapat menjalankan syariat Islam dengan sebaik-baiknya dan menghindari segala yang diharamkan. Aamiin.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk " Mengenal Istilah Halal dan Haram dalam Islam"