Sejarah Ijtihad dan Jenis Ijtihad
Sejarah ijtihad tidak bisa dilepaskan dari konsep perkembangan agama dalam menyikapi perubahan budaya masyarakat.
Sebab, ijtihad sendiri diartikan sebagai sebuah upaya untuk mengkaji dengan segenap kemampuan intelektual pada fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, dikaitkan dengan hukum agama.
Sejarah ijtihad ini terjadi ketika muncul sebuah masalah yang belum memiliki ketetapan hukum pasti atau nash, atau juga sudah memiliki nash namun tidak bersifat pasti. Saat kondisi seperti ini terjadi pada masa Rasulullah masih hidup, maka para sahabat akan menanyakan hal tersebut pada beliau.
Namun ketika beliau sudah wafat, maka para sahabat dan tokoh agama harus berusaha dengan keras secara sungguh-sungguh, untuk bisa menemukan kepastian hukum dari kondisi yang ada tersebut.
Sejarah ijtihad ini dimulai sebagai upaya untuk mencegah umat tersesat pada hal-hal yang masih bersifat abu-abu. Sehingga untuk menghindari kebingungan dan keraguan umat, dibukalah keran ijtihad.
Dasar yang digunakan adalah hukum nash atau hukum pasti yang memiliki benang merah dengan fenomena yang ada sekarang. Seperti masalah penggunaan narkoba, tidak dijelaskan dalam agama.
Namun, dampak narkoba yang memabukkan dan membuat para pemakainya lepas kontrol adalah sama dengan dampak yang terjadi pada para peminum Khamar atau minuman keras. Maka, hukum dari penggunaan narkoba ini disamakan dengan hukum minuman keras, karena keduanya memiliki dampak memabukkan.
Macam-Macam Ijtihad
Dari pemahaman dan sejarah ijtihad ini, pada dasarnya ijtihad terbagi menjadi dua bagian. Kedua macam ijtihad tersebut adalah :
1. Ijtihad Istinbathi
Pengertian dari Ijtihad Istinbathi adalah ijtihad yang ditujukan untuk mengeluarkan hukum tentang sebuah masalah yang belum ada aturan pastinya atau nash. Atau sudah ada nashnya akan tetapi belum bermakna pasti. Ijtihad Istinbathi ini hanya bisa dilakukan pada suatu perkara ketika perkara tersebut belum pernah dilakukan proses ijtihad sebelumnya.
2. Ijtihad Tathbiqi
Ijtihad ini membahas tentang masalah yang sudah dilakukan proses ijtihad sebelumnya. Namun, ijtihad tersebut secara spesifik belum membahas suatu perkara, karena saat ijtihad dilakukan perkara tersebut belum terjadi. Artinya ijtihad Tathbiqi lebih bersifat khusus.
Melalui ijtihad Tathbiqi ini, fatwa tersebut dirumuskan secara formal menjadi sebuah undang-undang. Sehingga, hasil ijtihad memiliki kekuatan dan ketetapan hukum yang akan mengikat.
Syarat-Syarat Mujtahid
Mujtahid adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk menetapkan permasalahan hukum syariat yang baru dan belum pernah dimaktubkan di dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Tentunya, untuk bisa diklaim sebagai mujtahid ia harus memiliki syarat-syarat mujtahid. Di dalam makalah tentang ijtihad ini akan dikupas tentang syarat-syarat mujtahid.
Pengertian Ijtihad dan hukumnya
Sebelum membicarakan syarat-syarat mujtahid, tidak salah rasanya bila di dalam makalah tentang ijtihad ini dikupas tentang definisi ijtihad. Ijtihad secara bahasa kerap dimaknai dengan mengerjakan sesuatu dengan segenap kesungguhan.
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, ijtihad adalah usaha yang dilakukan seorang mujtahid dengan seluruh kesanggupannya untuk menetapkan hukum-hukum syari’at.
Dengan definisi di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad bisa menjadi wajib dan bisa menjadi sunnah. Bisa menjadi wajib ketika ada masalah yang dialami mujtahid sendiri sehingga ia harus mengambil keputusan. Dan, di saat itu tidak ada lagi mujtahid lain yang bisa menetapkan hukum, maka berijtihad baginya menjadi wajib ‘ain.
Namun hukum ijtihad bisa berubah menjadi wajib kifayah, jika masih ada mujtahid lain yang bisa menentukan hukumnya. Sedangkan hukumnya menjadi sunnah, bila berijtihad tentang suatu peristiwa yang belum terjadi, baik itu kemungkinan terjadi atau tidak.
Syarat-Syarat Mujtahid
Selanjutnya kita akan membahas tentang syarat-syarat menjadi seorang mujtahid. Secara umum, ulama ushul fiqih menyatakan bahwa syarat mujtahid ada lima:
1. Harus mengetahui al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak mengetahui salah satunya, maka ia tidak layak disebut mujtahid. Bahkan tak sedikit ulama mengharuskan bahwa seseorang boleh menjadi mujtahid, bila ia menguasai 500 ayat yang mengenai hukum dan 3000 hadis Rasulullah.
2. Mengetahui tentang ijma’. Ijma’ adalah sumber hukum yang ketiga. Seorang mujtahid harus memahami apa – apa yang telah disepakati oleh ijma’ ulama. Jika ia menyalahi ijma’ tentunya ia akan menyalahi al-Qur’an dan Sunnah.
3. Menguasai bahasa Arab dan tata bahasanya. Fungsinya, agar tidak salah memahami maksud dari firman Allah dan hadist Rasulullah.
4. Menguasai ilmu ushul fikih dengan benar-benar mumpuni. Pasalnya, tidak bisa melakukan istinbath hukum jika tidak menguasai ilmu ushul fiqih. Segala permasalahan baru diklaim sebagai furu’ yang harus merujuk kepada ashal yang memiliki sandaran hukum dari al-Qur’an dan sunnah.
5. Mengetahui nasikh dan mansukh. Fungsinya adalah agar tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang telah dimansukhkan.
Demikianlah penjelasan tentang ijtihad dan syarat-syarat mujtahid. Semoga artikel singkat mengenai makalah tentang ijtihad ini bermanfaat untuk kita bersama.
Posting Komentar untuk "Sejarah Ijtihad dan Jenis Ijtihad"