Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Empat Tahap Kematian Sebelum Mati - Perspektif Sufi Tentang Mendekatkan Diri Kepada Allah

  

 sumber abd rahman on flickr.com

"Matilah sebelum engkau mati (Mutû qabla an tamutû)." Demikian salah satu sabda Nabi Muhammad Saw. Rasulullah tentu tidak sekadar membuat permisalan. 

Di dalam kata mutiara ini, terkandung makna bahwa seseorang hendaknya 'mati' atau menghapuskan keterikatannya dari dunia fana, sebelum ajal menjemput.
 
Bukan tanpa sebab 'mati sebelum mati' ini demikian penting. Ketika seseorang sudah berkecimpung pada kehidupan duniawi, lebih sering ia terjerat ke dalamnya tanpa sadar. 

Bagaikan seseorang yang menyelam, pasti sekujur tubuhnya basah. Nikmatnya merasakan kemenangan, perihnya penderitaan, bahagia kala mendapatkan gelar atau jabatan, tidak maunya seseorang berlinang air mata, adalah tanda-tanda bahwa kita mulai dekat dan terikat pada dunia. 

Al Quran didalam surah Muhammad ayat ke 36 sudah menyatakan bahwa "dunia hanyalah permainan dan senda gurau belaka". 

Maka, ketika seseorang semakin gandrung pada dunia, dengan berperilaku seperti beberapa contoh di atas, ada kecenderungan ia melupakan asal-usulnya; ia menolak untuk ke Akhirat, satu-satunya tempat berpulang. 

Orang yang sudah dilekati cinta duniawi, biasanya akan menolak kematian. Memandangnya sebagai sesuatu yang mengerikan.
 
Padahal, tidak demikian. Diistilahkan, kematian hanyalah fase perantaraan bagi roh manusia untuk memasuki kehidupan tahap lanjut. Semakin kita takut pada mati, semakin besar pula tanda-tanda kita tidak berada dalam jalur yang benar dalam agama.
 
Lalu, bagaimana cara agar kita dapat menghadapi mati dengan tegar? Bagaimana langkah agar seseorang, tidak berlarut pada keduniawian? Tak ada langkah lain kecuali mematuhi sabda Rasulullah tersebut, yaitu membiasakan diri dengan 'mati'. 

Nah, dalam perspektif sufi, ada empat jenis kematian yang mesti dilakukan seseorang yang benar-benar mencintai Allah, yaitu (1) mati putih, (2) mati hijau, (3) mati merah, dan (4) mati hitam.

Mati Putih (Maut Al-Abyadh)

Mati putih adalah langkah pertama bagi mereka yang hendak mendekatkan diri dengan Allah melalui mati sebelum mati. Langkahnya adalah menahan rasa lapar. Bukan rahasia lagi bahwa demikian banyak sabda Rasulullah yang mengindikasikan hal ini. 

Misalnya, sabda beliau bahwa seorang muslim hendaknya berhenti makan sebelum kenyang. Muslim sejati adalah mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Terdapat pula hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya, "setan bersemayam di dalam diri manusia layaknya mengalirnya darah. Oleh karenanya, hendaklah membatasi ruang geraknya dengan cara lapar dan haus"

Intinya, sabda-sabda Nabi tadi menegaskan, perut kenyang adalah sumber masalah, atau dalam bahasa lain, memperoleh kenikmatan berlebihan, adalah sesuatu yang terlarang. Mengapa demikian?
 
Adalah sebuah kecenderungan bagi manusia, kala perutnya telah kenyang, ia bersegera untuk mengejar nikmat dunia yang lain lagi. Alias, lepas kontrol untuk bermaksiat.

Bandingkanlah dengan pesan Nabi agar umat muslim berpuasa. Ketika berpuasa, menahan lapar dan haus dari fajar hingga maghrib, kekuatan kita serba terbatas. Meskipun demikian, kontrol terhadap diri sendiri akan semakin meningkat.
 
Orang yang berpuasa, akan berusaha bersabar terhadap segala hal, mulai dari hinaan hingga cobaan hidup. Sebaliknya, orang yang banyak makan cenderung lebih bugar dan lebih mungkin untuk merendahkan sesama, berjalan-jalan ke tempat tercela, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan agama yang lain. 

Makan memang merupakan kebutuhan dasar. Namun, berlebihan (makan hingga kenyang) bukan lagi merupakan kebutuhan dasar, melainkan keinginan dasar yang bila diikuti, akan melahirkan keinginan-keinginan lain.

Mati Hijau ( Maut Al-Akhdar)

Mati putih adalah membiasakan diri dengan berlapar-lapar; membuat kita tidak terjebak pada keinginan dasar yang sesat. Mati hijau, adalah upaya seseorang untuk menjadi fakir atau menjalani hidup yang sederhana. 

Ini tahapan yang lebih sulit lagi. Sering seseorang terpedaya pada gemerlapnya uang. Apalagi ketika ia menjadi tumpuan hidup keluarga. Jika ada uang, ia akan pusing. Namun, andai uang tak ada, pusing itu semakin menjadi-jadi.
 
Maka, mati hijau adalah upaya untuk melepaskan ketergantungan pada harta duniawi. Menjadi fakir (harta) adalah pertanda bahwa seseorang siap menjadi fakir (ilmu agama) di depan Tuhan. 

Dalam kitab Adab Al-Muridin yang disampaikan oleh Abu Al-Najib Al Suhrawardi, disebutkan "kefakiran lebih baik daripada kekayaan. Jibril menasehati Nabi agar tidak menerima harta ... Kefakiran tidak identik dengan tasawuf tetapi rampungnya kefakiran adalah tanda yang disebut kemudian."

Kekayaan membuat seseorang masih merasa dirinya mampu mengerjakan sesuatu dalam hidup, atas inisiatif sendiri. Namun, menjadi fakir, akan membuat seseorang hanya bergantung pada Allah semata.
 
Bukan berarti seseorang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, lantas tidak boleh bekerja. Mereka bisa jadi tetap bekerja, berdagang sebagaimana mestinya, namun dengan perspektif yang lebih tinggi daripada sekadar untung-rugi.

Mati Merah (Maut Al-Aswad)

Tahapan berikutnya adalah maut merah atau upaya seseorang bertempur melawan hawa nafsunya, segala keinginan yang bertentangan dengan upaya mendekati Allah. 

Pada dasarnya, manusia memiliki jiwa yang liar, yang bergerak berdasarkan kesenangan dan kesedihan belaka. Ia akan mengejar sesuatu yang berpotensi memberikan kebahagiaan kepadanya, dan menghindari segala yang membuatnya menderita.
 
Padahal, hidup tidak demikian. Kesedihan dan kesenangan hanyalah alat bagi Allah untuk memperkenalkan kenyataan sebenarnya. 

Maka, seseorang yang melangkah melewati jalan ini, tidak lagi merasa dendam atau tersakiti ketika ia ditimpa kesedihan yang merusak. Tidak berupaya membalas kesedihan dengan kesenangan berlipat, dan sebagainya.

Mati Hitam (Maut Al-Aswad)

Mati hitam adalah langkah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan menanggung beratnya fitnah duniawi. 

Dia akan menjalani hidup yang penuh penderitaan, tidak pernah berhenti, silih berganti. Ia akan menjadi semakin tergantung kepada-Nya, bahkan hanya untuk sekedar satu tarikan nafas.

Hanya Allah yang bisa membolak-balikkan kehidupannya, sementara ia hanyalah bagaikan wayang yang harus mau mengikuti kemana sang dalang menggerakkannya.
 
Seseorang yang sudah melampaui tahapan ini, akan menyadari bahwa ada cinta Allah yang sejati; yang melebihi segala sesuatu di dunia. Dan, manusia hidup oleh kekuasaan cinta ini. 

Maka, yang akan terjadi bagi mereka yang sudah melampaui mati hitam adalah terlihatnya cinta kasih mereka yang begitu besar. Orang-orang yang demikian, akan mengerjakan segala sesuatu tanpa pamrih; dan 'tidak memiliki harga diri'.
 
Semisal, dalam sebuah kisah, seorang sufi Fariduddin Attar ditangkap oleh tentara Mongol dan hendak dibunuh. Ada seorang muslim yang berani membayar seribu keping perak untuknya. Namun, Attar berkata pada tentara Mongol tersebut, agar menolak tawaran tadi. 

Nanti akan ada penawar yang lebih baik. Benarlah, tak lama kemudian ada seseorang yang ingin menebus Attar. Tapi, harganya hanya seikat jerami. Attar kemudian berkata, "ya memang begitulah hargaku."
 
Kisah Attar tadi menunjukkan bahwa seseorang yang telah melewati mati hitam, tak peduli lagi dengan diri sendiri. Bagi mereka, keberadaan di dunia hanyalah akibat cinta Allah semata; dan segala pergerakan dalam hidup pun berdasarkan oleh cinta Allah semata pula.
 
Proses mati sebelum kematian sendiri berjalinan dengan erat. Seseorang belum merasakan lezatnya bersua dengan Allah sebelum ia menjalani mati putih. Seseorang belum merasakan ketergantungan hakiki sebelum ia merasakan mati hijau. 

Sebelum ia merasakan mati merah (yang diartikan dengan mati fisik) maka, ia tidak akan dapat melintasi waktu, tak mencapai keabadian dan bersua dengan Tuhan. Dan seseorang tidak akan menjadi pecinta Allah yang paripurna jika belum merasakan mati hitam.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk "Empat Tahap Kematian Sebelum Mati - Perspektif Sufi Tentang Mendekatkan Diri Kepada Allah"