Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ijtihad Sumber Hukum Islam

 

Ijtihad Sumber Hukum Islam
Image by Freepik

 Abu Bakar As-Sidiq, Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga

Ijtihad berasal dari bahasa Arab yakni "jahada". Secara bahasa kata "jahada" memiliki makna yaitu bersungguh-sungguh atau mengupayakan dengan segenap kemampuan untuk mengerjakan hal yang sulit.
 
Ulama besar di bidang ushul seperti Abu Al Husain Ali yang dikenal juga dengan Al Amidi (w. 631 H) dan Muhammad bin Ali Asy Syaukani (w. 1255 H) mendefinisikan ijtihad sebagai, mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka mencari dugaan kuat mengenai hukum syara dari bukti yang terperinci pada sumbernya.
 
Sebagian yang lain menambahkan, “sampai mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk mengeluarkan usaha apa-apa lagi” pada definisinya.
 
Intinya, sebagai istilah hukum, ijtihad bermakna mengeluarkan semua usaha dalam mempelajari suatu masalah secara menyeluruh dan mencari solusinya dari sumber-sumber syariah. Ijtihad sebagai sumber hukum Islam harus kita lakukan dalam kehidupan.
 
Seseorang yang melaksanakan ijtihad disebut mujtahid, sedangkan orang yang mengetahui hukum syariah secara detail namun tidak mampu mengambil hukum secara langsung dari sumbernya bukanlah mujtahid tetapi hanya seorang faqih (ahli fiqih), mufti (pemberi fatwa), qadhi (hakim).
 
Ijtihad tidak dilaksanakan kecuali pada hukum syariah yang dalilnya tidak pasti (dzanni) dan tidak ketika aturannya pasti (qath'i).

Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi pintu untuk melakukan ijtihad, maka itu adalah sebuah perkataan yang salah. Mengapa? Karena hal tersebut bertentangan dengan syariah.

Nash syariah ada hari ini sebagaimana telah ada di masa yang lampau, karena itu ijtihad tidak hanya mungkin tapi juga perlu dan merupakan fardu kifayah (kewajiban yang hanya mensyaratkan keterpenuhannya saja).

Apakah Ada Dalil Tentang Ijtihad?

Berikut ini adalah dalil-dalil tentang diperbolehkannya ijtihad. Silahkan di pelajari dengan seksama, antara lain:

Para sahabat berijtihad pada masa Rasulullah dan berbeda pendapat pada pengambilan kesimpulan suatu hukum sedang Rasulullah menerima hal tersebut.
 
Hal tersebut bisa terlihat dari beberapa peristiwa berikut, antara lain:
 
1. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam kembali dari perang khandaq, Beliau meletakkan senjatanya lalu mandi.
 
Kemudian Malaikat Jibril datang dan berkata, “Apakah engkau meletakkan senjatamu? Demi Allah, kami para malaikat belum meletakkannya. Pasang kembali senjata-senjata itu.” Rasulullah bertanya, “Pergi ke mana?” lalu Jibril menunjukkan Bani Quraizah.
 
Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam kemudian memerintahkan muadzin untuk adzan dan Beliau mengumumkan kepada orang-orang: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, dia tidak shalat ashar kecuali di Bani Quraidzah.”
 
Lalu mereka berangkat menuju benteng Bani Quraidzah, namun mereka berbeda pemahaman atas apa yang Rasulullah perintahkan kepada mereka. Sebagian mengambil makna literal dan tidak shalat kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah setelah magrib.
 
Sebagian yang lain menganggap itu artinya mereka harus pergi dengan segera, sehingga mereka dapat shalat ashar di madinah atau di jalan.  Ketika Rasulullah mendengar hal ini, Beliau menerima semua perbuatan mereka.
 
2. Sabda Nabi ketika Beliau mengirim Muadz menjadi hakim di Yaman. “Bagaimana kamu akan mengambil keputusan?” Dia menjawab, “Dengan kitabullah.” Nabi kembali bertanya: “Bila tidak ada di sana?” Dia menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah.”
 
Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam bertanya: “Dan bagaimana jika kamu tidak menemukannya?” Muadz menjawab: “Saya akan menjalankan ijtihad.” Nabi menjawab: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan utusan Rasulullah mengikuti apa yang Allah dan rasul-nya cintai.”
 

(Ahmad:5/236, Abu Daud:3592, At Turmudzi:1327, Al Hafidz dalam kitab Al Talkhis, Ibnu Thahir berkata, hadits ini mempunyai dua jalan sanad kedua-duanya tidak shahih.
 
At Tirmidzi berkata, hadits ini tidak kami kenal kecuali dengan jalan ini. Juga bukan merupakan hadits muttasil, tetapi kepopuleran hadits ini di antara manusia dan penerimaan mereka terhadapnya merupakan perkara yang menguatkan hadits ini).
 
3. Hadits dari Rasulullah: “Jika hakim menetapkan keputusan maka berjihadlah, jika dia benar maka dia akan mendapat dua pahala, sedangkan jika dia salah maka dia mendapat satu pahala.” (Muttafaq 'alaih)

Apa Dasar Hukum dari Ijtihad?

Ijtihad adalah usaha keras seorang mujtahid (ahli fiqih) untuk menemukan hukum syariat dari dalil-dalil syariat dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir yang sesuai.
 
Ijtihad dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah baru yang tidak ada hukumnya secara jelas dalam Al-Quran dan sunnah.
 
Dasar hukum dari ijtihad adalah Al-Quran, sunnah, dan ijma' (kesepakatan ulama). Berikut adalah beberapa dalil yang menunjukkan dasar hukum ijtihad:
 
1. Al-Quran Surah An-Nisa ayat 105
 
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan wewenang kepada Nabi Muhammad SAW untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan berdasarkan Al-Quran.
 
Ini berarti Nabi Muhammad SAW melakukan ijtihad dengan menggunakan Al-Quran sebagai sumber hukum utama.
 
2. Hadits
 
Aku mendengar bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda: "Sesungguhnya Allah tidak akan menghilangkan ilmu dengan cara mencabutnya dari hati para hamba, tetapi Allah akan menghilangkan ilmu dengan cara mencabut para ulama. Sehingga apabila tidak ada ulama lagi, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka akan ditanya dan mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu. Maka mereka sesat dan menyesatkan." (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah menjaga ilmu syariat dengan cara menjaga para ulama yang memiliki kemampuan ijtihad.
 
Mereka adalah orang-orang yang dapat memberikan fatwa dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu atau kebodohan.
 
3. Ijma'
 
Kesepakatan ulama bahwa ijma' adalah salah satu sumber hukum Islam yang sah dan diperlukan. Apa dasar dari ijma'?
 
Ijma' ini didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan sunnah yang menunjukkan pentingnya ijtihad, serta pada kenyataan bahwa para sahabat, tabi'in, dan ulama setelah mereka melakukan ijtihad dalam berbagai masalah.

Ijtihad Merupakan Sumber Hukum Islam yang Ke Berapa?

Ijtihad adalah sumber hukum Islam yang keempat setelah Al Quran, Hadits, dan Ijma. Dan ini berarti bahwa dalam sumber hukum agama Islam, Ijtihad adalah merupakan sebuah hal yang sangat penting.
 
Ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum yang tidak ada penjelasannya di dalam Al Quran maupun Hadis.
 
Ijtihad dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam ilmu agama Islam, yang disebut mujtahid. Hanya mereka yang memiliki basic keilmuan yang sangat baik yang diperbolehkan untuk mengeluarkan sebuah ijtihad.
 
Mengapa demikian? Karena dampak dari ijtihad tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
 
Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk menemukan solusi bagi permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam kehidupan umat Islam, yang tidak dapat diselesaikan dengan sumber hukum yang lain.
 
Ijtihad juga merupakan bentuk kreativitas dan dinamika dalam hukum Islam, yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman.
 
Demikianlah ulasan singkat tentang Ijtihad Sumber Hukum Islam. Semoga ulasan singkat tersebut bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk " Ijtihad Sumber Hukum Islam"