Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengertian, Manfaat dan Syarat Amal Jariyah

 sumber Alviady Ramadhan on flickr.com
 
Syarat  amal jariyah, sekurangnya harus memenuhi empat kategori berikut, yaitu dilakukan dengan niat yang ikhlas, adanya sesuatu berupa barang atau benda yang diberikan dengan sifat yang awet atau tahan lama, memiliki manfaat untuk kepentingan umum atau barang yang sudah diberikan masih bisa dimanfaatkan lagi untuk kebaikan. 

Dari kategori di atas, jelas bahwa syarat amal jariyah sangat berkaitan dengan manfaatnya yang berkelanjutan.
 
Manfaat berkelanjutan tersebut, tentu saja sesuai dengan arti dari amal jariyah itu sendiri, yaitu amal yang mengalir atau amal yang terus mengalir sehingga manfaatnya tak putus kendati pemberi telah tutup usia.

Amal Jariyah

Amal yang berasal dari bahasa Arab sebenarnya memiliki pengertian mengamalkan, berbuat, bekerja, apa yang diamalkan, dibuat atau dikerjakan, tentu saja harus melalui niat yang tulus dan bermanfaat untuk kepentingan orang lain. 

Namun, kata amal ini seringkali dipertukarkan dengan sedekah yang berarti pemberian, memberi atau derma.
 
Kekeliruan dalam pemaknaan amal dan sedekah, seringkali terjadi karena keduanya merujuk pada aktivitas memberi untuk kepentingan orang lain. 

Namun, aktivitas memberi pada amal ini, sebenarnya lebih luas dari sedekah. Terutama jika dikaitkan dengan kandungan makna yang berarti berbuat dan bekerja. 

Dengan demikian, segala sesuatu yang dibuat dan dikerjakan selama membawa manfaat bagi orang lain, bisa dikatakan sebagai amal. Itu berarti amal yang diberikan tak selalu memiliki sifat kebendaan.
 
Kekeliruan tersebut kerap terjadi dalam praktik sehari-hari, bahwa amal jariyah selalu disamakan dengan sedekah jariyah yang lebih menekankan pada perbuatan memberi yang bersifat kebendaan. 

Sebagai contoh, seseorang yang mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid, sekolah, mushola, rumah sakit dan hal lain yang sifatnya positif.
 
Sebenarnya tidak salah mengartikan amal dalam kondisi seperti itu. Namun tidak juga sepenuhnya benar. Mengapa demikian? Sebab yang lebih ditekankan pada amal adalah manfaat dan perbuatannya, bukan besaran pemberian atau wujud dari pemberiannya.
 
Sebagai contoh untuk mengilustrasikan uraian di atas adalah, mengamalkan ilmu yang didapat untuk pembangunan atau menyebarkannya pada orang lain dengan cara mengajarkan. Perbuatan seperti itu sangat bisa dipahami sebagai amal, sebab maknanya memang berbuat dan bekerja.
 
Pemaknaan jariyah dari amalan di atas adalah manfaatnya yang akan terus dirasakan. Sebagai contoh, seorang yang mengamalkan ilmu pengetahuan di bidang teknik, untuk membangun jembatan yang kokoh. 

Maka manfaat dari amalnya tersebut akan terus mengalir selama jembatan tersebut masih bisa dipakai. Terlebih jika teknik pembuatan jembatan tersebut ditiru di tempat lain untuk kepentingan umum, manfaatnya akan terus meluas dan membesar.
 
Contoh lain adalah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Ilmu tersebut tentu akan ditransfer pada muridnya lalu dipakai untuk kepentingan yang berguna. Dari pemakaiannya saja sudah terlihat jika ilmu yang diberikan itu bermanfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. 

Belum lagi jika ilmu tersebut diajarkan dan disebarkan lagi pada generasi berikutnya. Manfaat dari ilmu terus tak akan pernah putus sekalipun yang memberi ilmu telah meninggal dunia. Dalam sudut pandang agama, semua manfaat di atas akan sangat berhubungan dengan besaran pahala yang kita dapat. 

Semakin besar manfaatnya, maka semakin besar pula pahalanya. Dan pahala tersebut akan terus mengalir sepanjang masa, selama yang telah diamalkan terus mendatangkan manfaat bagi orang lain.

Niat yang Ikhlas

Ada peribahasa yang mengatakan bahwa jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh tahu. Peribahasa tersebut bukan berarti saat memberi kita harus menyembunyikan tangan kiri di kantong celana atau di belakang badan.

Maksudnya adalah saat memberi, sebaiknya pemberian itu dilakukan dengan tulus. Salah satu ciri ketulusan yang dimaksud adalah tidak menceritakan pemberian pada siapa pun terlebih mengungkit-ungkit segala sesuatu yang telah menjadi hak orang lain.
 
Sebab jika itu dilakukan, seseorang akan selalu merasa terbebani dan merasa bahwa pemberian tersebut adalah utang yang harus dilunasi. Hal itu berlaku untuk segala hal, baik ilmu, petuah, doa atau pemberian yang berupa barang.
 
Ikhlas pun sering diartikan dengan pemberian yang tanpa pamrih. Artinya saat memberi, kita sama sekali harus mengesampingkan harapan akan adanya balasan yang bisa didapat dari pemberian tersebut.

Sekalipun Allah sendiri menjanjikan bahwa Ia akan membalas sepuluh kali lipat atas segala sesuatu yang kita berikan untuk kepentingan orang lain.
 
Secara logika, seseorang yang memberi dengan pamrih tentu akan selalu mengharapkan balasan terhadap jasanya.

Jika harapan ini tak kunjung datang, bukan tak mungkin jika di suatu hari ia akan mengungkit-ungkit segala sesuatu yang pernah kita berikan. Dan mungkin akan “kapok” memberi karena ia tak juga mendapatkan balasan.
 
Sebagai contoh, seseorang yang menyekolahkan anak orang lain dengan harapan di hari tuanya anak tersebut bisa membantu kehidupannya. 

Jika Allah menggariskan kenyataan lain yang berbeda dengan harapannya, misalnya setelah besar si anak tersebut malah lebih membantu keluarganya dari pada orang yang pernah menyekolahkannya. Maka orang tersebut akan menganggap anak itu sebagai orang yang tak tahu diuntung.
 
Bukan tak mungkin kejadian itu akan memunculkan fitnah terhadap anak tersebut, semisal menceritakan pada orang lain tentang bagaimana anak itu bisa meraih sukses akibat bantuannya. Sementara setelah sukses si anak sama sekali tak membantu bahkan melupakannya.
 
Fitnah semacam ini tentu saja sangat berbahaya dan satu hal yang harus dihindari. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? 

Itulah sebabnya mengapa Allah memerintahkan manusia untuk memiliki niat yang ikhlas dalam berbagai hal. Salah satunya adalah untuk menghindari penyakit hati seperti atas.

Manfaat Amal Jariyah

Seperti telah disinggung di atas, bahwa manfaat amal jariyah yang paling utama adalah sifatnya yang berkelanjutan, mengalir dan tak terputus. Manfaat tersebut tentu saja tidak hanya dirasakan bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain.
 
Berkaitan dengan manfaat amal Jariyah, HR. Muslim mengatakan bahwa, perbuatan atau amalan seorang Muslim akan terputus ketika ia meninggal dunia, sehingga ia tidak bisa lagi mendapatkan pahala.

Sesuai dengan hadits Nabi Saw, ada tiga perkara yang pahalanya akan terus mengalir walaupun kita sudah meninggal dunia, yaitu:
 
1. Sedekah jariyah (wakaf)
 
2. Ilmu yang bermanfaat
 
3. Dan doa anak sholeh
 
Berdasarkan hadits di atas, jelas bahwa amal jariyah yang diberikan atau dilakukan semasa hidupnya, akan terus memberikan pahala yang tak pernah putus selama amalan tersebut terus diamalkan dan terus mendatangkan manfaat positif bagi penggunanya.
 
Hadits di atas pun sangat bisa digunakan sebagai patokan untuk meluruskan kekeliruan tentang pengertian amal dan sedekah. Seperti yang telah diutarakan sebelumnya. 

Untuk mengingatkan dan menegaskan, bahwa amal lebih merujuk pada manfaat atau hasil yang telah diberikan, bukan pada sifat atau wujud pemberiannya.
 
Demikianlah uraian tentang pengertian, manfaat dan syarat amal jariyah. Semoga uraian di atas bisa mendatangkan hikmah dan manfaat.

Mas Pujakusuma
Mas Pujakusuma "Visi Tanpa Eksekusi Adalah Halusinasi" - Thomas Alva Edison

Posting Komentar untuk "Pengertian, Manfaat dan Syarat Amal Jariyah"